PERJALANAN DOMESTIK TAK PAKAI SYARAT, TATAP MUKA TAK KUNJUNG DATANG
Aturan baru syarat untuk naik pesawat dan kapal sudah tak perlu PCR atau antigen lagi, bagi mereka yang sudah mendapatkan vaksinasi dosis dua bahkan booster. Dan aturan tersebut sudah diresmikan oleh pemerintah sebagai syarat perjalanan domestic.
Tidak dipungkiri jika hal tersebut berkaitan dengan aktivitas kepentingan bagi orang-orang berjabat, namun bagaimana dengan nasib para pelajar yang sangat menantikan aktivitas seperti semula. Pembatalan aturan tatap muka yang kala itu sudah hendak di resmikan, kini harus terbengkalai kembali akibat naiknya wabah covid-19 dan munculnya virus baru yaitu Omicron.
Aktivitas dan interaksi yang seharusnya bisa dibiasakan dengan hidup berdampingan bersama virus yang tidak tahu kapan akan hilang, berkenaan dengan aturan tatap muka, seharusnya bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk memberikan celah bagi Pendidikan saat ini.
Fasilitas yang bahkan kurang memadai bagi pelajar yang harus melakukan pembelajaran secara online, akan lebih memperburuk kualitas Pendidikan di Indonesia. Bagaimana tidak, ditinjau dari segi ekonomi, masih banyak masyarakat di luar sana yang memiliki keterbatasan ekonomi, sehingga tidak mampu membelikan gadget untuk sang anak, terlebih dengan penggunaan kuota yang belum ada subsidi kembali.
Kemudian faktor dari rendahnya Pendidikan orang tua, yang kurang mampu membimbing anaknya dalam pelajaran karena ketidakpahaman, yang seharusnya bisa anak mereka pahami jika bersekolah dengan tatap muka. Dan yang terakhir faktor dari mindset orang tua dan anak menjadi salah, kecanggihan teknologi hanya akan membuat kebodohan bagi siapapun yang tidak bisa meracik kebutuhan teknologi itu sendiri, serta kemudahan akses internet yang disalahgunakan dan panduan dari orang tua yang terbatas.
Pelajar menantikan tatap muka Kembali.
Akan terdengar seram bagi pelajar yang bahkan belum pernah merasakan tatap muka, asyiknya pembelajaran online yang pasti sudah menjadi rahasia umum, jika dalam pembelajaran layar meeting hanya didiamkan, tanpa respon apapun kepada pengajar. Tentu seram bila tiba-tiba tak mampu menjawab pertanyaan yang terlontar.
Yang seharusnya tatap muka bisa mereka dapatkan agar mampu bersosialisasi dengan kawan sebaya, kini hanya sebatas virtual. Akses perjalanan yang tak gratis juga menjadi pertimbangan untuk pulang pergi setiap hari. Bagaimana jadinya kualitas Pendidikan jika sudah begini?
Sebagai seorang yang mampu berfikir positif, tak akan menyalahkan atas persoalan yang ternyata kami dihadapkan pada situasi yang saling bersangkut pautan. Namun kami hanya ingin atasan mendengar, untuk diberikan kesempatan dalam hak kami memperoleh Pendidikan yang sebenarnya.
Write : Mega