Korona Masih Disini, Daring Menguji Nyali
Sumber : Pngtree.com
Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Pendidikan adalah hidup itu sendiri.” – John Dewey. Kita bisa melihat bagaimana krusialnya pendidikan dalam kehidupan suatu negara. Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa masa depan bangsa selaras dengan pentingnya pendidikan bagi warganya, khususnya generasi muda yang dipundaknya terdapat kompas penentu arah gerak Ibu Pertiwi.
Pendidikan yang berkualitas membutuhkan komponen yang berkualitas pula dalam kondisi apapun. Termasuk saat wabah global atas nama Covid-19 menerjang dunia. Kita tahu dampak dari wabah yang bermula dari Wuhan ini sangat terasa dari segala sisi. Ekonomi masyarakat menurun, dibatasinya kegiatan keagamaan, peralihan sistem pembelajaran dari tatap muka menjadi daring. Terhitung kurang lebih sudah 8 bulan pembelajaran daring berlangsung. Polemik yang terjadi pun menjadi bumbu-bumbu tersendiri di setiap instansi. Kendala dan realita yang lahir dari akibat pembelajaran daring menyisakan kepingan-kepingan sulitnya system pembelajaran ini.
Setidaknya, ada beberapa hal yang menjadi gambaran efektifitas sistem pembelajaran daring yang menguji nyali, yaitu:
1. Dengan daring, kantong semakin kering
Sistem pembelajaran daring membutuhkan media-media pembelajaran yang menggunakan data seluler atau kuota. Tidak bisa dianggap remeh, kompleksitas masalah kuota internet sangat penting untuk diperhatikan. Tidak ada kuota, tidak bisa online. Pemerintah pun turut berupaya mengulurkan tangan dengan membagikan kuota gratis pada elemen-elemen pendidikan secara umum, karena secara khusus nyatanya masih banyak instansi yang tak tersentuh dengan kebijakan tersebut. Daring terus berlanjut, keuangan pun menyusut.
2. Signal is impostor
Seperti dikatakan sebelumnya, daring memang tak mengenal jarak, hanya mengenal signal. Pembelajaran daring tak pandang lokasi, hanya pandang E hingga 4G. E hingga 4G seolah menjadi buronan sekandal yang perlu di kejar agar kelancaran aktifitas tetap teratasi.
3. Off camera, bisa apa saja
Fitur menghidupkan dan mematikan kamera yang ada pada media membuat peserta didik maupun mahasiswa menjadi berkesempatan lebih untuk berbuat apa saja, salah satunya tidak sungguh-sungguh dalam ‘belajar’. Dalam hal ini, mengakibatkan menipisnya akses kontrol dari guru atau dosen terhadap perkembangan murid atau mahasiswanya.
4. Motivasi diri kurang terisi
Pembelajaran jarak jauh berbasis online membuat kontrol diri kurang terkendali. Akibatnya, motivasi yang harusnya dipupuk malah di tumpuk tak terbentuk. Jiwa kompetisi yang seharusnya teruji malah terisolasi. Berat memang.
Dari uraian diatas kita bisa melihat bagaimana efektifitas pembelajaran daring terus menunjukkan kesenjangan. Terlepas dari upaya pemaksimalan penguluran bantuan fasilitas, belajar tatap muka tetap akan menunjukkan hasil lebih baik. Terlebih lagi negara kita sedang menuju Indonesia emas 2045, dimana kemajuan dan kejayaannya perlu dipersiapkan dari sekarang. Indonesia emas membutuhkan generasi emas. Dan generasi emas lahir dari pendidikan berkualitas.
Arus digitalisasi yang digadang-gadang sejalan dengan pembelajaran berbasis online memang penting, namun yang perlu ditekankan adalah karakter yang tertanam dalam diri. Jika karakter pada diri sendiri sudah terbangun dengan baik, maka akan mudah untuk merubah lingkungan sekitar dan menyesuaikan dengan zaman. Penguatan karakter pada pemuda sangat ditentukan saat bagaimana ia mengenyam pendidikan, saat bagaimana ia mendapatkan pengalaman di jenjang sekolah ataupun universitas dan bagaiamana ia berhubungan dengan lingkungan. Merupakan PR terbesar bagi seorang guru dan dosen dalam membangun dan mengembangkan karakter anak didiknya. Pendidikan yang baik tidak hanya berpacu pada nilai berkedok angka dan mutu, tapi bagaimana anak didik mampu berkarakter baik, bertanggung jawab, kreatif dan independen. Oleh karena itu, sistem pembelajaran daring yang hanya bertatap muka secara virtual atau bahkan melalui komunikasi di grup media sosial terasa kurang untuk mencapai tujuan dari pembelajaran khususnya segi karakter. Dari sistem pembelajaran daring, pendidik tidak mampu mengontrol dengan maksimal apa yang dikerjakan anak didiknya. Tidak jelas jujur atau tidaknya, tidak jelas perkembangan usahanya, dan lain-lain. Selain itu, peserta didik juga menjadi terbatasi untuk berpikir dan bertindak out of the box, serta berkurangnya semangat memaknai arti kejujuran. Maka tidak bisa dibayangkan jika pembelajaran terus berlangsung secara jarak jauh.
Berbicara realistis, kita dihadapkan pada situasi dimana Covid-19 terus berlanjut, kualitas pendidikan juga menyusut. Sistem pembelajaran daring tidak cukup efektif jika dengan tujuan agar pandemi ini berakhir. Kembali ke pembelajaran tatap muka dengan berpedoman pada protokol kesehatan akan mampu menghasilkan ouput yang lebih baik dan maksimal. Sistem pembelajaran di sekolah dasar hingga menengah yang dimana peran orang tua dan guru masih sangat di perlukan akan tetap bisa berjalan dengan pembagian shift secara periodik dan tertinjau dengan pedoman kesehatan lain seperti menerapkan 3 M ( menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun dan memakai masker).
Keberlangsungan sistem pembelajaran di kampus juga akan jauh lebih baik jika dikembalikan pada pembelajaran tatap muka, tentunya dengan syarat tetap mematuhi aturan protokol kesehatan Covid-19 secara ketat. Sedangkan kebijakan spesifik dapat diserahkan pada kampus masing-masing. Solusi terbesar ada pada kolaborasi antar pihak, mulai dari pihak kampus, mahasiswa hingga tim kesehatan. Karena kunci dari Covid-19 adalah saling menjaga.
Penelitian Fazar Nuriansyah yang berjudul “Efektifitas Penggunaan Media Online dalam Meningkatkan Hasil Belajar pada Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Saat Awal Pandemi Covid-19” pun turut menjelaskan tentang bagaimana motivasi mahasiswa dalam perkuliahan dan bagaimana pemahaman mengenai materi yang disampaikan. Dari penelitiannya, didapatkan sebuah data yang didapat dari hasil wawancara sebagai berikut :
Pernyataan 1 : Saya memiliki motivasi yang lebih tinggi dalam melakukan perkuliahan karena menggunakan media online.
Sangat Tidak Setuju : 8,1%
Tidak Setuju : 25,2%
Netral : 43,7 %
Setuju : 17 %
Sangat Setuju : 5,9 %
Pernyataan 2 : Saya lebih mudah memahami pelajaran setelah dosen menggunakan media online.
Sangat Tidak Setuju :18,5%
Tidak Setuju : 38,5 %
Netral : 30,4 %
Setuju : 8,1 %
Sangat Setuju : 4,4 %
Dari penelitian Briliannur Dwi C, Aisyah Amelia, Uswatun Hasanah, Abdy Mahesha Putra dan Hidayatur Rahman tentang analisis keefektifan pembelajaran online di masa pandemi covid-19 juga mengatakan bahwa dampak covid-19 terhadap pembelajaran sangat terasa di sarana prasarana yang menunjang pembelajaran. Seperti kuota yang juga dipengaruhi dengan kualitas jaringan, khususnya di desa. Guru pun menjadi kesulitan dalam menyampaikan materi secara komprehensif.
Data diatas merupakan sedikit representasi dari banyaknya kendala dan ketidakefektifan pembelajaran daring bagi elemen peserta didik. Khususnya pendidikan tinggi sebagai pendidikan terakhir bagi seseorang yang setelahnya akan bekerja sesuai bidang dan keahlian masing-masing. Pendidikan tinggi diharapkan mampu melahirkan lulusan-lulusan mahasiswa yang kreatif, kompatibel dan mampu mengaplikasikan ide-ide yang dapat merevolusi menuju arah lebih baik. Dan pembelajaran yang tidak maksimal akan berpengaruh terhadap itu semua.
Kita bisa dengan bekerja sama. Kita mampu dengan bersatu. Covid-19 musuh bersama, dan belajar tetap menjadi tugas kita sebagai manusia. Jika bisa mutualan dan menyelamatkan keduanya mengapa tidak? Pemerintah menetapkan kebijakan ketat mengenai protokol kesehatan, pihak sekolah dan universitas menunaikan tanggung jawabnya dengan maksimal dan ekstra mengawasi peraturan yang telah ditetapkan pemerintah di lingkungan akademik, dan peserta didik disiplin dalam mematuhi aturan kesehatan yang telah dibuat. Dengan begitu, pendidikan dan kesehatan dapat berjalan beriringan, tanpa ada yang tertinggal salah satunya, atau bahkan keduanya, mengingat Covid-19 belum menemukan titik terang walau pendidikan telah dikorbankan.
Penulis : Elda Sari